Kupang,
6 April 2024
Salam
bagi semua temanku sesama anak yatim piatu dimanapun kalian berada.
Bagaimana keadaan kalian hari ini tanpa ayah dan ibu? Baikkah? Burukkah? Terhitung hari ini, sudah berapa lama kalian menjadi yatim piatu? Bagi saya sendiri, ini adalah tahun ke-5 masuk ke-6 menjadi anak yatim (ayah saya wafat pada 22 Desember 2018) dan tahun ke 4 menjadi anak piatu (saat saya menulis tulisan ini, bertepatan dengan 4 tahun wafatnya ibu saya, 6 April 2020).
Apa
saja yang teman-teman sudah rasakan sebagai yatim piatu selama teman-teman menjalani hari? Apakah kalian merasakan sama
dengan apa yang saya rasakan? Bagi saya, menjalani hari-hari sebagai yatim
piatu tidaklah mudah. Diusia saya yang sekarang ini (saat menulis tulisan ini,
saya berusia 32 tahun), saya masih membutuhkan suara nasihat ayah untuk
mengarahkan langkah saya, serta tepukan telapak tangan ibu di punggung saya
yang selalu menenangkan hati saya. Saya masih membutuhkan ajaran, doa,
kepedulian, kebersamaan bersama mereka. Saya masih merasa belum mampu mengambil
keputusan sendiri. Saat diperhadapkan dengan persimpangan jalan dan
pilihan-pilihan hidup, dalam hati saya selalu berkata “andai bapa masih ada,
tentu tidak akan serumit ini” atau “andai mama masih ada, saya bisa
menceritakan masalah ini”. Saya juga sering merasa iri dengan teman-teman saya
yang masih dijinkan Tuhan untuk masih bersama ayah dan ibu – atau minimal salah
satu dari mereka. Saya iri melihat mereka membawa orangtua mereka pergi makan
bersama, jalan-jalan, rekreasi, membelikan orangtua mereka baju, jam tangan
dsb. Saya iri kepada mereka yang masih bisa ke Gereja bersama orangtua mereka. Saya
iri melihat teman saya ditelepon oleh ayah atau ibu mereka untuk segera pulang
rumah karena hari sudah larut malam. Saya iri kepada mereka yang masih
diijinkan Tuhan untuk merawat orangtua mereka sampai usia lanjut. Saya rindu
memapah ayah saya saat akan kontrol ke dokter. Saya rindu mendorong kursi roda
ibu saya sepanjang lorong rumah sakit. Saya rindu saat duduk berjam-jam di depan
ruangan Hemodialisis untuk menunggui ibu saya cuci darah. Saya rindu membeli
buah-buahan dan roti untuk mereka. Saya rindu dibangunkan tengah malam untuk
sekedar mengambil air minum untuk ibu saya, atau untuk memapah ayah saya ke
toilet. Saya rindu mencuci pakaian mereka. Ya, itulah yang saya alami setiap
saat. Apakah teman-teman sesama yatim piatu juga merasakan apa yang saya
rasakan?
Dari semua perasaan di atas, hal yang paling saya rasakan setelah ayah saya wafat adalah saya merasa hilang arah dan kuatir karena sosok yang selama ini menjadi tiang penopang, penolong dalam mengambil keputusan, pemberi nasihat terbaik di dunia bagi saya sudah tiada. Apalagi saat beliau wafat, ibu saya ada dalam kondisi sakit keras. Kondisi gundah saya diperparah dengan orang-orang yang bertanya kepada saya “bapa sudah pergi, siapa yang akan berdoa kasih kita lagi?”, sedangkan saya sendiri juga kehilangan sosok pendoa bagi saya sebagai seorang anak. Saat ibu saya wafat beberapa waktu setelah itu, saya kehilangan ketenangan pikiran. Setiap malam saya harus mengonsumsi bir agar saya bisa tidur - Mungkin hal inilah yang menyebabkan saya terkena batu ginjal.
Namun
seiring berjalannya waktu, Tuhan menolong saya untuk saya menemukan suatu
perenungan dengan peristiwa iman yang terjadi dalam hidup saya ini. Menjadi yatim piatu adalah suatu keharusan
bagi semua anak (kecuali anak itu wafat mendahului ayah dan ibunya). Menjadi yatim piatu adalah suatu hal yang
tidak bisa dihindari oleh siapapun, karena itulah jalan hidup manusia. Lalu,
apa yang menjadi konsentrasi kita mengenai kondisi kita sebagai yatim piatu?
1.
Kita
harus percaya bahwa dalam kondisi apapun, rencana Tuhan selalu baik adanya
Setelah saya menjadi yatim piatu, saya sampai pada suatu perenungan bahwa : inilah rencana Tuhan yang baik bagi saya. Saya merenung : jika ayah dan ibu terus ada bersama saya, maka saya tidak akan bisa berdoa sendiri; saya tidak akan bisa mengambil keputusan sendiri; saya tidak akan mandiri; saya tidak akan menjadi dewasa. Saat ayah dan ibu pergi, saya dituntut untuk mampu melakukan semua itu sendiri, dan itulah yang membuat saya dewasa, mandiri dan menjadi kuat dengan catatan : itu semua terjadi dalam tuntunan kasih Tuhan.
2.
Kita
harus kuat dan teguh hati
Saya ingat kisah saat Tuhan mengutus Yosua setelah Musa wafat, sebanyak tiga kali Tuhan memerintahkan Yosua untuk kuatkan dan teguhkan hati (Yosua 1). Kuatkan dan teguh hati adalah kita harus berani berjalan sendiri tanpa orangtua, berdoa sendiri, mengambil keputusan sendiri dan menasihati diri sendiri. Apapun yang dulu orangtua kita lakukan kepada kita, harus berani kita lakukan sendiri. Jangan terlalu lama larut dalam duka, jangan menangis terlalu lama. Jangan habiskan waktu untuk berpikir “andai bapa masih ada..” atau “andai ibu masih ada..”, karena itu akan menghambat kita untuk melangkah. Sebaliknya : bangunlah dari keterpurukan akan duka dan jadilah berani, karena sikap berani inilah yang diperintahkan Tuhan, agar kita dapat kuat dan teguh hati. Namun ingat : kuat dan teguh hati serta keberanian kita dalam menjalani hidup harus didasarkan kepada : KETAATAN PADA FIRMAN TUHAN.
Yosua
1:7 Hanya, kuatkan dan teguhkanlah hatimu dengan sungguh-sungguh, bertindaklah hati-hati sesuai dengan
seluruh hukum yang telah diperintahkan kepadamu oleh hamba-Ku Musa; janganlah menyimpang ke kanan atau ke
kiri, supaya engkau beruntung, ke manapun engkau pergi.
Yosua
1:8 Janganlah
engkau lupa memperkatakan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam, supaya engkau bertindak hati-hati sesuai dengan segala
yang tertulis di dalamnya, sebab dengan demikian perjalananmu akan berhasil
dan engkau akan beruntung.
Tanpa berjalan dengan firman Tuhan, kita tidak akan mencapai level hati yang berani, kuat dan teguh. Sungguh, banyak anak yang setelah menjadi yatim piatu, mereka melangkah salah dan kehilangan arah; inilah pentingnya kehadiran Firman Tuhan dalam hidup kita.
3.
Tetap
percaya, bahwa Tuhan tidak tinggalkan kita
Perhatikan ayat ini :
Mazmur 27:10 : Sekalipun
ayahku dan ibuku meninggalkan aku, namun TUHAN menyambut aku.
Tuhan
adalah Sosok yang sangat peduli kepada para yatim piatu. Tuhan memelihara
setiap Yatim piatu yang menyerahkan duka dan kegundahan hati kita kepada-Nya. Dekat
dengan Tuhan akan membuat kita tidak larut dalam duka dan gundah yang
berkepanjangan; sebaliknya penyertaan-Nya selalu sempurna bagi kita. Bagi saya,
dengan kehadiran Tuhan dalam hidup ini, menjadi yatim piatu bukanlah suatu hal
yang buruk; sebaliknya : kehadiran Tuhan dalam hidup ini membawa kebaikan bagi
hidup saya. Benarlah apa yang dikakatakan Rasul Paulus bagi kita:
Rom.8:28 : Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.
Menjalani hidup sebagai yatim piatu bukanlah
hal yang buruk, tergantung dengan siapa
kita berjalan dan bagaimana kita memandang hidup sebagai seorang yatim piatu. Jika
kita berjalan bersama Tuhan dan memandang hidup ini sebagai rencana Tuhan yang
baik bagi kita, maka kita akan dapat menjalani hidup ini dengan baik. Selamat menjalani
hidup, tetaplah kuat. Tuhan memberkati. Amin.
