Minggu, 27 Juni 2021

SIFRA DAN PUA (Keluaran 1:15-21)

 


Alkitab mencatat banyak wanita yang menjadi tokoh yang berperan dalam pekerjaan Allah, dengan segala kapasitas dan profesi yang mereka geluti. Ada Debora yang merupakan satu-satunya hakim wanita di Israel, ada Ester yang merupakan pemenang kontes kecantikan dan menjadi Ratu Media - Persia, ada Yohana yang merupakan istri pejabat, ada Lidia yang merupakan pengusaha, ada pula ibu rumah tangga seperti Sara, Ribka, Lea, Maria dan lainnya. Kali ini, kita akan belajar dari dua orang bidan yang menjadi pahlawan dalam kisah proses pembebasan bangsa Israel dari perbudakan Mesir. Mereka adalah Sifra dan Pua.

Sifra dan Pua dicatat Alkitab sebagai bidan di tanah Mesir (ay. 15) yang membantu persalinan wanita-wanita Israel pada zaman perbudakan saat itu. Tidak diketahui dari bangsa manakah mereka berasal, entah Mesir atau Israel atau mungkin suku bangsa yang lain, yang pasti mereka berdua adalah tenaga kesehatan pada zaman itu. Kedua bidan ini memiliki keistimewaan yang menjadikan mereka diberkati Allah, sehingga dapat kita contohi dalam hidup kita. Apa yang dapat kita pelajari dari kedua bidan ini?

1.      Memiliki sikap takut akan Allah

Firaun memiliki masalah tersendiri dalam pemerintahannya saat itu, yaitu berkembangnya bangsa Israel dengan pesat, sehingga mereka menjadi bangsa yang besar. Firaun takut mereka menjadi banyak dan berbalik memberontak terhadap Kerajaan Mesir, sehingga Firaun mengeluarkan perintah untuk melakukan genosida terhadap setiap bayi laki-laki yang lahir dari bangsa Israel. Sifra dan Pua sebagai bidan yang membantu persalinan para wanita Israel diperintahkan untuk membunuh tiap bayi laki-laki yang lahir (ay.15-16). Ini bertujuan untuk menekan jumlah laki-laki di kalangan bangsa Israel, sehingga kesempatan untuk memberontak dapat diatasi sejak dini. Perintah raja merupakan hal yang mutlak dilakukan dan berpotensi menerima hukuman jika tidak dilaksanakan. Namun dalam pembacaan kita kali ini, kita melihat bahwa Sifra dan Pua tidak melakukan apa yang diperintahkan raja oleh karena mereka takut akan Allah (ay.17). Allah dan segala perintah-Nya menjadi fokus dari  kehidupan kedua bidan ini, sehingga mereka lebih memilih untuk melanggar titah raja, walau kemungkinan ada peluang untuk dihukum karena membangkang.

Dalam hidup kita, apakah sikap takut akan Allah selalu menjadi fokus kita? Ataukah kita lebih memilih untuk takut kepada manusia daripada takut akan Allah? Allah menuntut sikap takut dan taat kepada-Nya tanpa berkompromi terhadap apapun. Jika kita selalu fokus terhadap Allah dan segala titah-Nya, maka kita akan selalu taat kepada-Nya, apapun resikonya. Dan Alkitab mengatakan, bahwa orang yang takut akan Allah akan beroleh kebahagiaan.

 

Pengkhotbah 8:12 Walaupun orang yang berdosa dan yang berbuat jahat seratus kali hidup lama, namun aku tahu, bahwa orang yang takut akan Allah akan beroleh kebahagiaan, sebab mereka takut terhadap hadirat-Nya.

 

2.      Profesionalitas dalam bekerja

Kita belajar dari Sifra dan Pua, bahwa dalam melaksanakan segala pekerjaan dan pelayanan kita, kita harus menjunjung tinggi profesionalitas. Profesionalitas dalam bekerja bukan hanya menyangkut hasil kerja yang baik, inovasi dalam bekerja, ketepatan waktu dsb. Profesionalitas dalam bekerja juga ditunjukkan dalam dengan bersikap jujur dalam bekerja serta menjunjung tinggi kebenaran (yang sesuai kehendak Tuhan) walau berada dalam tekanan. Sebagai bidan, Sifra dan Pua adalah orang yang bertugas untuk menyelamatkan ibu dan anak dalam proses persalinan, dalam hal ini mereka berdua bertugas utuk menghadirkan satu jiwa baru di bumi (si bayi) serta menjaga supaya jiwa yang sudah ada dapat tetap hidup (si ibu). Jika mereka dengan sengaja membuat nyawa bayi itu hilang, maka mereka sudah melanggar profesionalitas sebagai tenaga kesehatan dan  melanggar perintah Tuhan.

Profesionalitas dalam bekerja dapat dilanggar, paling tidak oleh karena dua hal, yaitu karena tekanan dari pihak tertentu dan juga karena adanya kesempatan untuk berbuat curang. Sifra dan Pua dihadapkan pada  tekanan dari pihak tertentu (Firaun) yang berkuasa atas mereka, namun mereka tetap profesional, baik di hadapan manusia maupun di hadapan Tuhan. Kita juga bisa belajar dari Yusuf yang dihadapkan pada  kesempatan untuk berbuat curang saat dia dirayu oleh istri Potifar untuk bercinta, namun dia tetap profesional sebagai seorang bawahan. Mengapa mereka bisa seperti itu? Kembali pada poin satu : sikap takut akan Tuhan menjadi fokus dalam tiap aspek hidup mereka. Selain itu, segala pekerjaan, segala pelayanan, segala profesionalitas harus dilakukan dengan segenap hati hanya untuk Tuhan karena dalam setiap pekerjaan dan pelayanan kita, Tuhanlah yang menjadi Tuan kita.

 

Kolose 3:23 Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.

Kolose 3:24 Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya.

 

3.      Tidak bersikap rasis dan diskriminatif

Firaun membenci Israel yang berbeda suku dan ras dengan dirinya, sehingga dia memandang mereka sebagai bangsa rendah yang sah-sah saja untuk di perbudak bahkan dimusnahkan. Sikap rasis dan diskriminatif merupakan sikap yang sangat berbahaya. Sejarah mencatat, Adolf Hitler pernah membunuh sekitar 6 juta jiwa orang Yahudi dalam kurun waktu 1941-1945 dalam program Holocaust karena sikap rasis dan diskriminatif. Dia menganggap bahwa orang Yahudi adalah suku bangsa yang berasal dari ras rendah yang berbeda dengan bangsa Jerman (ras Arya) sehingga pantas untuk dimusnahkan (selain karena membenci bangsa Yahudi, Hitler juga terobsesi untuk membentuk generasi unggul yang tidak memiliki cela). Bayangkan bahwa hanya oleh karena pola pikir seperti itu (rasis dan diskriminatif), begitu banyak jiwa yang melayang.

Dalam keseharian kita, tentu tidak jarang melihat sifat rasis dan diskriminatif walau tidak sampai terjadi pembunuhan. Menghina fisik seseorang, menghina suku dan kekurangan seseorang (walau hanya berupa candaan), pilih-pilih orang dalam berteman dan pelayanan karena fisik, suku, status dan kedudukan merupakan sifat rasis dan diskriminatif, dan hal ini biasanya bukan hanya terjadi pada orang dewasa, tetapi juga pada anak-anak. Sikap ini adalah sikap yang merendahkan Allah, karena orang-orang yang didiskriminasi itu adalah ciptaan Allah juga. Kita belajar dari Sifra dan Pua, bahwa semua orang sama di mata Tuhan, dan semua pantas untuk mendapat pelayanan yang sama. Mereka tidak menganggap bayi-bayi dari bangsa Israel sebagai budak yang sah untuk dibunuh, namun mereka tetap menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

 

Dalam bekerja dan melayani, janganlah kita pilih-pilih. Berbeda warna kulit, rambut, suku, budaya, orang miskin ataupun kaya haruslah kita layani dengan baik. Dalam kehidupan-Nya, Tuhan Yesus memberikan teladan kepada kita untuk tidak bersikap rasis dan diskriminatif. Dia mengasihi dan melayani orang kusta dan orang tahir, orang miskin dan orang kaya, orang Israel dan orang Samaria, orang saleh maupun pemungut cukai dan perempuan berdosa. Sebagaimana Kristus sudah melakukan itu, kita juga harus meneladani-Nya.

Pada akhirnya, kedua bidan ini diberkati Allah dengan memiliki keluarga yang dibentuk dan diberkati oleh Allah sendiri (ay. 20-21). Dalam tugas dan pekerjaan kita, apakah kita melakukan itu supaya diberkati Allah? Tidak. Kita diajarkan bahwa kita melakukan segala kehendak Allah dalam segala aspek hidup kita sebagai ucapan syukur oleh karena Allah sudah terlebih dahulu melakukan kebaikan bagi kita. Namun kita harus ingat, saat kita melakukan segala kehendak Allah, Allah tidak pernah menutup mata dan akan mencurahkan segala berkat  bagi hamba-hamba-Nya yang setia. Selamat bekerja dalam ketaatan kepada Allah.

 

Kolose 3:23 Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.

AMIN

1 komentar: