Selasa, 31 Oktober 2023

GMIT DAN TUJUH JEMAAT DI ASIA KECIL (Wahyu pasal 2 & 3)

 



Tulisan ini saya buat tepat pada saat perayaan 504 tahun Reformasi Gereja dan 74 tahun Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Dalam pertumbuhan sebagai salah satu umat Kristen Protestan yang berada dalam naungan GMIT, saya selalu menganggap GMIT sebagai “ibu”. GMIT adalah sebagai “ibu” yang mengajarkan umat yang bernaung di dalamnya mengenai Injil Kristus. Saya bertumbuh dan mengenal akan kebenaran Kitab Suci  dalam naungan GMIT, baik melalui sekolah Minggu, Katekasasi, ibadah pemuda, ibadah rumah tangga, juga ibadah Minggu. Ya, saya percaya bahwa Allah menempatkan saya dan semua umat Protestan yang bernaung dalam GMIT untuk mengenal akan Dia dan segala kebenaran FirmanNya.

Dalam perjalanannya hingga berumur 74 tahun, GMIT telah mengalami banyak kejadian yang menempanya sebagai Gereja yang eksis dalam sejarah kekristenan dunia. Apa yang dialami GMIT sama dengan apa yang dialami oleh tujuh jemaat di Asia kecil yang menerima surat dari Rasul Yohanes. Apa saja kejadian-kejadian itu?

1. Dirong-rong oleh “takhta iblis” dan ajaran sesat (Wah.2:13-15, 2:20). Dalam perjalanannya, bukan hanya sekali saja GMIT diserang oleh ajaran sesat berupa Saksi-saki Yehuwa, Sabelianisme, kontroversi LGBT serta paham Liberalisme yang merong-rong mimbar Gereja – membiarkan orang yang percaya kepada “Kristus yang lain” naik ke atas mimbar - serta ajaran-ajaran sesat lainnya yang bertentangan denga Kitab Suci. Ajaran-ajaran sesat ini bukan hanya berasal dari luar, namun juga datang dari dalam Gereja baik dari kalangan jemaat bahkan dari atas mimbar Gereja baik berupa ajaran-ajaran maupun keputusan-keputusan kontroversial yang diambil, padahal mimbar Gereja harusnya menjadi sumber yang paling kuat dalam memberitakan kebenaran. Inilah yang dikatakan dalam surat Yohanes sebagai jemaah Iblis (Wah.3:9). GMIT sebagai ibu disakiti, dicemari dan dinodai bukan hanya dari luar, tetapi juga oleh anak-anak yang dibesarkannya dalam kebenaran Firman Tuhan.  Sebagai umat Allah yang mengetahui kebenaran, sebagai anak yang mencintai ibunya, bagaimana seharusnya kita merespons akan hal ini?

  • Jangan menjadi sesat! Jangan mengikuti ajaran sesat yang menjadi penyakit yang mengerogoti Gereja. Sebaliknya, tetaplah berpegang kepada segala perkataan Kristus (Kolose 3:16; Wahyu 2:24-25). Jangan mundur dari ajaran mula-mula yang telah ditetapkan Kristus. Bagaimana kita bisa tetap berpegang kepada segala perkataan Kristus? Tentu dengan terus rajin belajar dan terus menyelidiki Firman Tuhan dalam kehidupan kita, merenungkan siang dan malam dan melakukannya dalam kehidupan. Perlu juga menguji setiap ajaran yang datang kepada kita, apakah itu sesuai dengan Alkitab atau tidak (1 Yoh.4:1), karena tidak semua ajaran, tidak semua pengajar dan tidak semua keputusan yang diambil dalam Gereja itu berasal dari Allah dan sesuai apa kata Kitab Suci. Pakailah Firman Tuhan untuk menyelidiki, menyaring setiap ajaran, perkataan, setiap keputusan yang diputuskan dalam Gereja. Mengenai hal ini, kembali lagi : terus rajin belajar dan terus menyelidiki Firman Tuhan dalam kehidupan kita agar kita mampu menguji setiap ajaran yang datang kepada kita. Umat GMIT janganlah menjadi sesat.
  • Janganlah sabar akan kesesatan dan para jemaah Setan (Wah.2:2). Tetaplah berjerih payah untuk melawan akan segala kesesatan iblis, jangan membiarkan kesesatan merasuki Gereja dari luar maupun dari dalam, dari kalangan umat maupun dari atas mimbar sekalipun, karena Allah mencela umat yang apatis dan diam saja terhadap penyesatan yang terjadi dalam Gereja seperti Dia mencela jemaat Pergamus (Wah.2:14-15) dan jemaat Tiatira (Wah.2:20). Ketidak-sabaran akan kesesatan seperti inilah yang membuat Martin Luther oleh kuasa Roh Kudus berani melawan Gereja Katolik yang melakukan praktik yang tidak sesuai dengan ajaran Alkitab, sehingga dia menulis 95 dalil melawan praktik-praktik yang dilakukan Gereja Katolik dan akhirnya mengembalikan Gereja kepada ajaran mula-mula yang sesuai Alkitab. Allah memuji jemaat di Efesus karena hal serupa, dimana mereka tidak sabar terhadap ajaran sesat dari para rasul palsu. Karena itu demikianlah kita sebagai umat Kristen Protestan yang bernaung dalam GMIT juga harus melakukan apa yang dilakukan oleh umat di Efesus dan juga Luther. Umat GMIT janganlah sabar terhadap segala bentuk kesesatan dalam Gereja.

2. Hilangnya kasih yang semula (Wah.2:4) Fenomena murtadnya umat GMIT di beberapa daerah pedalaman menjadi sorotan yang akrab bagi kita akhir-akhir ini. Apa yang menyebabkan mereka murtad? Paksaan kah? Siksaan kah? Tidak. Kemurtadan itu terjadi karena perut yang lapar, keinginan untuk sekolah yang terhambat dan kesejahteraan yang rendah. Disaat umat GMIT yang berkecukupan (bahkan berkelebihan) tidak hadir bagi mereka disaat mereka membutuhkan itu semua, hadirlah para pendakwah yang menghadiahkan makanan, kesejahteraan dan kesempatan sekolah bagi anak-anak mereka. Disaat umat GMIT berlomba-lomba membangun gedung Gereja yang megah di perkotaan, banyak saudara sesama umat GMIT di pedalaman yang lapar, tidak sejahtera bahkan  buta huruf. Perbandingan terbalik antara kemewahan bangunan Gereja perkotaan dan kemiskinan umat di pedalaman menggambarkan betapa apatisnya umat maupun para pejabat organisasi GMIT yang ada di perkotaan terhadap umat yang ada di pedalaman. Ketidakpedulian ini mungkinkah disebabkan oleh hilangnya kasih yang semula? Jika benar demikian, maka Allah mencela kita akan hal itu. Dalam menanggapi fenomena murtadnya umat GMIT di beberapa daerah pedalaman, sebagai seorang Kristen yang mengetahui akan tugas penginjilan saya tidak sedikitpun menyalahkan para pendakwah yang memurtadkan umat Kristen pedalaman. Para pendakwah itu hanya menjalankan tugas mereka sebagai umat beragama yaitu : menyebarkan agama dan berdakwah (walau diakui, dakwah mereka juga dibungkus dengan cara-cara ccurang seperti iming-iming imbalan dll). Dalam Negara ini, tidak ada larangan bagi siapapun untuk berdakwah ataupun menginjili (walaupun dalam praktiknya, umat Kristen selalu dilarang untuk menginjili di beberapa tempat di negara ini). Sebagaimana kita menginjili, demikian pula mereka berdakwah. Tidak ada yang salah dalam hal ini. Jika demikian, mengapa kita marah saat mereka berdakwah dan berhasil meng-islam-kan umat Kristen di pedalaman? Bukankah ini semua terjadi karena sikap apatis kita diperkotaan? Bukankah organisasi besar GMIT yang justru abai terhadap mereka di pedalaman, padahal seharusnya Gereja hadir untuk melayani mereka yang tidak mampu? Bukankah Diakonia merupakan tugas Gereja?  Bukankah kita yang terlalu sibuk membangun gedung Gereja yang megah di kota, tanpa peduli bahwa mereka di pedalaman membutuhkan beras, bahan bangunan bahkan kesempatan untuk sekolah? Bukankah kita yang telah kehilangan kasih yang semula? Ingatlah bahwa sebagai umat Kristen Protestan, kita berada dalam satu naungan yaitu GMIT yang menjadi ibu yang mempersatukan kita menjadi milik Kristus, yang menjadi setara satu sama lain dimanapun kita bergereja baik di perkotaan maupun di pedalaman. Sebagai saudara “seibu”, hendaklah kita saling mengasihi, saling memperhatikan, saling mendukung dan menopang dengan kasih semula yang telah diajarkan umat Tuhan pada awal Gereja berdiri (Kis.2:41-47). Marilah kita kembali kepada kasih yang semula, dengan segala kapasitas yang kita miliki untuk mengusahakan kesejahteraan bukan hanya bagi Gereja dimana kita bernaung, tetapi juga bagi saudara-saudara kita seiman – sedenominasi di pedalaman. Umat GMIT jangan sampai kehilangan kasih yang semula, yang telah diajarkan Kristus melalui pada rasul dan Gereja mula-mula.

3. Menerima fitnahan dari jemaah Iblis (Wah.2:9) Bukan baru sekali gereja Tuhan menerima fitnahan. Bahkan jemaat mula-mula pun di anggap sebagai sekte sesat saat mengabarkan Injil Kristus. Demikian juga jemaat Smirna, mereka menerima fitnahan dari orang Yahudi yang disebut Tuhan sebagai jemaat Iblis. Apa yang dialami jemaat Smirna juga dialami oleh Gereja Protestan, demikian juga GMIT sebagai Gereja yang turut hadir dalam sejarah perjalanan kekristenan. Saat Jan Huss berusaha mereformasi Gereja, orang-orang yang menyebut diri mereka Kristen menuduh dia sebagai bidat yang harus dihukum mati dan pada akhirnya dia dihukum mati. Hal ini juga terjadi pada Luther satu abad kemudian (namun Luther tidak dihukum mati seperti Huss). Bagaimana kedua reformator ini bisa bertahan dalam menghadapi fitnahan yang ditujukan kepada mereka? Semua karena Tuhan memberikan keberanian kepada mereka untuk melawan kesesatan. Mereka tidak takut akan apa yang harus mereka derita, bahkan setia sampai mati. GMIT dalam perjalanannya bersama Gereja Protestan yang lainnya juga turut menerima fitnahan-fitnahan dari mereka yang menyebut dirinya sebagai “agama yang paling benar” atau “ajaran yang paling benar”. Islam memfitnah Gereja sebagai sesat karena percaya Yesus adalah Tuhan. Begitu juga Saksi-saksi Yehuwa yang tidak percaya akan Tritunggal. Advent hari ketujuh memfitnah Gereja Protestan sebagai gereja sesat karena merubah ibadah sabat menjadi Minggu, dan masih banyak lagi fitnahan yang diberikan. Secara fisik, umat GMIT mungkin tidak menderita, namun secara iman, psikologi, pikiran dan perasaan, fitnahan ini tentu menyakitkan dan menimbulkan penderitaan. Apa kata Allah mengenai hal ini? Dia mengetahui segala kesusahan umatNya (Wah.2:9), dan Dia menyuruh kita untuk jangan takut dan tetap setia sampai mati (Wah.2:10). Fitnahan-fitnahan itu janganlah hendaknya membuat kita menjadi lemah dan menyerah, namun dengan memohon  kuasa dari Roh Kudus kita harus mampu menghadapi itu. Segala jerih payah kita dalam menghadapi fitnahan-fitnahan tidaklah sia-sia di mata Allah. Umat GMIT harus mampu bertahan dan setia sampai mati dalam menghadapi setiap ujian iman.

4. Menjadi umat yang mati dan tidak sempurna dalam mengerjakan pekerjaan Tuhan (Wah.3:2) Allah mencela jemaat di Sardis karena mereka menyangka bahwa mereka hidup di mata Allah, namun sebenarnya mati, dan tidak ada pekerjaan mereka yang sempurna di mata Tuhan (Wah.3:1-2). Demikian juga umat dalam GMIT saat ini, mungkin kita merasa bahwa kita sudah menjadi umat Tuhan yang hidup taat dengan melakukan peribadatan, ritual-ritual keagamaan dsb., namun tidak sadar bahwa kita melakukan itu hanya sebagai kewajiban umat beragama, bukan untuk kemuliaan Tuhan. Jika demikian maka di mata Allah, kita adalah umat yang mati. Peribadatan kita adalah peribadatan yang mati yang tidak berkenan di hadapan Allah. Mungkin kita juga merasa bahwa pelayanan kita berjalan dengan baik, tetap eksis bahkan mengklaim bahwa sudah sesuai dengan kehendak Tuhan. Namun kita tidak sadar, bahwa terkadang pelayanan kita mati di hadapan Allah. Kita melayani untuk tampil, kita melayani untuk mencuri kemuliaan Allah, kita melayani untuk mencari keuntungan sendiri, kita melayani untuk mencari nama. Juga dalam hal pengajaran, berapa banyak mimbar yang berada dalam naungan GMIT yang masih menyuarakan Injil yang sejati? Berapa banyak mimbar yang masih terus menegur akan dosa, mengabarkan kasih karunia Allah dan pengorbanan Kristus, serta mengajarkan pengajaranpengajaran akan doktrin yang benar, daripada hanya mengajarkan soal moral belaka? Mimbar haruslah tempat yang paling lantang untuk mengabarkan Injil dan pengajaran-pengajaran yang benar. Mimbar yang sejati mengerjakan pekerjaan yang sempurna jika terus menyuarakan Injil Kristus dan pengajaran-pengajaran yang benar mengenai doktrin kekristenan. Namun, berapa banyak mimbar dalam naungan GMIT yang mengerjakan hal ini? Dalam semua hal itu, jangan kaget jika Allah akan menetapkan GMIT sebagai umat yang mati dan melakukan pekerjaan yang tidak sempurna - Akan tetapi, seperti jemaat Sardis yang masih menjaga kemurniannya sebagai umat dan dalam pelayanannya (Wah.3:4), tentu kita menemukan hal ini juga ada dalam umat dan dari atas mimbar GMIT, dan diharapkan itu akan terus berkembang - Sebagaimana jemaat Sardis ditegur Tuhan, demikian juga kita sebagai umat yang bernaung dalam GMIT ditegur Tuhan untuk :

  • Bertobat dan berjaga-jaga karena kedatangan Tuhan itu misterius (Wah.3:3). Hendaklah kita didapati sebagai hamba, sebagai umat yang setia pada saat kedatanganNya yang kedua kali nanti.
  • Bangkit serta memperkuat kembali apa yang telah kita terima dari Allah (Wah.3:2) sejak semula, yaitu segala pengertian yang benar akan bagaimana hidup di hadapan Allah dan bagaimana pelayanan Tuhan itu harus berjalan dengan motivasi yang benar agar kita tidak dianggap sebagai umat yang mati dan agar pekerjaan yang kita angkat di hadapan Tuhan dipandang sebagai yang sempurna dan berkenan di hadapan Allah.

Umat GMIT haruslah menjadi umat yang hidup dihadapan Allah yang terus berusaha dan berjerih payah mengerjakan pekerjaan Allah secara sempurna.

5. Dikhianati oleh umat yang suam-suam kuku (Wah.3:15-16) Banyak jemaat yang suam-suam kuku dalam mengikut Tuhan, dalam peribadatan, pengajaran dan puji-pujian yang sejati terhadap Allah, yang berapi-api pada awal perjalanan sebagai umat Kristen namun menjadi redup bahkan padam pada akhirnya. Banyak pula yang mengambil pelayanan dalam Gereja dan bersemangat di awal pelayanan sebagai Pendeta, Penatua, Diaken, Pengajar, Guru sekolah Minggu, Ketua pemuda, pemusik, prokantor dsb, namun menjadi menjadi redup bahkan padam, dan membuat mereka mundur dari pelayanan mereka. Mereka berjalan bersama Gereja, namun meninggalkan Gereja ini di tengah jalan dengan segala alasan untuk membenarkan keputusan mereka. Mereka berkhianat. Kondisi ini sama dengan apa yang dialami jemaat di Laodikia. Apa kata Tuhan tentang orang-orang yang suamsuam kuku?  Allah akan memuntahkan mereka (Wah.3:16). Apa arti dimuntahkan? Segala sesuatu yang telah dimuntahkan akan menjadi sesuatu yang tidak lagi berguna, tidak memiliki harga dan pada akhirnya dibuang. Orangorang yang berubah setia, suam-suam kuku dalam mengikuti dan melayani Tuhan akan dipandang tidak berguna dan dibuang oleh Tuhan.  Allah menginginkan umat yang terus berapi-api dalam mengikuti Dia, dan tidak kendor dalam melayani Dia. Saya pernah menjadi saksi seorang penatua jemaat yang menangis sejadi-jadinya karena tidak bisa melayani, diakibatkan sakit yang mendera tubuhnya dimasa tua. Tangisan yang keluar dari hatinya bukan karena kuatir akan tubuhnya yang renta, tetapi satu tangisan karena pelayanannya terhambat. Melihat hal ini, saya merasakan sungguh api pelayanan yang sangat membara hingga titik darah penghabisan ada dalam diri orang tua ini. Hal seperti inilah yang diinginkan Allah dalam diri umatNya. Hal seperti inilah yang dibutuhkan GMIT dalam menjalani eksistensi sebagai Gereja Tuhan. Belajar dari hal ini, marilah kita : janganlah hendaknya kerajinan kita menjadi  kendor, tetapi hendaklah kita terus terbakar dan menyala-nyala di hadapan Tuhan (Rom. 12:11), baik dalam mengikut Dia maupun melayani Dia. Umat GMIT janganlah suam-suam kuku.

Sebagaimana Allah telah menguatkan Gereja selama berabad-abad, demikian pula Allah akan menguatkan dan meneguhkan GMIT. Sebagaimana Dia menginginkan ketujuh jemaat di Asia kecil untuk setia sampai akhir kepada-Nya, demikian juga Dia menuntut itu ada dalam diri GMIT. Melihat fenomena-fenomena buruk yang menimpa GMIT tempat kita bernaung, jangan membuat kita untuk menjadi lemah, pesimistis dan apatis terhadap kondisi GMIT. Allah melihat segala kesetiaan dan memperhitungkan segala jerih payah umat yang masih berpegang kepada Injil yang benar dalam mengembalikan dan menjaga GMIT menjadi Gereja yang murni. Mungkin kita lemah, namun lihatlah bahwa Jemaat Filadelfia mendapat pujian dari Allah karena walaupun kekuatan mereka tidak seberapa namun mereka berjerih payah untuk tetap setia dan tidak menyangkal nama Tuhan (Wah.3:8). Hal demikian juga Allah inginkan ada dalam umat GMIT. Bagaimana kita dapat mengembalikan GMIT menjadi Gereja yang berkenan di mata Allah dan menjaga kemurnian Gereja? 

  • Tetap menjadikan Kristus sebagai Kepala dan Pemilik Gereja. Hanya Kristus yang terutama (Solus Christus). 
  • Tetap berpegang kepada apa yang telah diajarkan Kristus dari semula, yang semua itu tertulis jelas dalam Alkitab. 
  • Tetap tekun belajar, merenungkan, serta menjadi pelaku Firman Tuhan yang setia. Dengan demikian, kita dapat menjadi umat yang berkualitas serta mampu menghadapi segala bentuk penyesatan yang menyerang GMIT. 
  • Tetap menjaga kemurnian ajaran Kristen, tetap berpegang kepada ajaran dan doktrin yang benar yang berdasarkan hanya pada Alkitab (Sola Scriptura). 
  • Tetap mempertahankan Injil dan pengajaran doktrin yang benar terus mengalir dari mimbar GMIT, dan juga dari dalam mulut kita sebagai umat (tugas Marturia). 
  • Jangan sabar terhadap kesesatan yang datang dari luar mapun dalam Gereja bahkan dari atas mimbar. Alkitab harus menjadi satu-satunya dasar ajaran Gereja berdiri. Darimanapun kesesatan itu muncul, harus kita lawan.
  • Tetap berada pada kasih sejati yang semula telah diajarkan Kristus. Gereja tidak dapat berdiri dengan asas egoisme, namun harus berdiri di atas dasar kasih dan kepedulian. Sebagaimana kita diselamatkan hanya oleh kasih karunia Allah (Sola Gratia), demikianlah kasih Allah hendaknya tetap ada dalam diri kita. Tetap menjalankan tugas Diakonia Gereja bagi umat yang tidak mampu, sebagai tanda kasih Allah ada dalam kita, bukan hanya dalam jemaat segereja tetapi juga kepada jemaat-jemaat seiman-sedenominasi di daerah pedalaman. 
  • Tetap setia dalam iman kepada Kristus apapun resikonya, karena yang setia sampai akhir akan menjadi pemenang. Orang benar akan hidup oleh iman, kita diselamatkan hanya karena iman (Sola Fide).
  • Jangan suam-suam kuku dalam mengikut Tuhan dan dalam pelayanan, tetaplah roh dan kerajinan kita menyala-nyala di hadapan Tuhan. 
  • Tetap beribadah dalam roh dan kebenaran, bukan hanya melakukan rutinitas keagamaan biasa,  agar ibadah kita menjadi ibadah yang hidup dan berkenan di hadapan Allah.
  • Tetap melayani dengan motivasi yang benar : demi kemuliaan nama Tuhan (Soli Deo Gloria), bukan mencari keuntungan bagi diri sendiri, minta tuntunan Roh Kudus dalam tiap pelayanan agar pelayanan itu sempurna di mata Allah.

Kiranya Allah memberkati GMIT.

 

AMIN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar